PANCASILA
SidangDokuritsu
Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945
Cobalah
pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun
demikian, saudara- saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan
perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin.
Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih F.500. Kalau
saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu
listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai
sendok-garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah
mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada
orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai
meja satu, kursi empat, yaitu „meja-makan", lantas satu zitje, lantas satu
tempat tidur.
Ada
orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara Marhaen! Kalau dia
sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen
dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi,
satu zitje, satu tempat-tidur: kawin.
Sang
Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat, tempat tidur, uang
bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig, belum tentu mana
yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau
Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-
saudara!
(Tepuk
tangan, dan tertawa)
Saudara-saudara,
soalnya adalah demikian: kita inI
beranImerd ka atau tidak ? ? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka
tuan ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum
saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya
mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab
apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di
dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap -
tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam
hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi,
sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka!
(Tepuk
tangan riuh).
D i
d a l a m Indonesia merdeka itulah kita
m e m e r d e k a k a k a n rakyat kita!! D i d a l a m Indonesia
Merdeka itulah kita m e m e r d e k a k a n hatinya bangsa kita! D i d a l a m
Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud m e m e r
d e k a k a n rakyat Arabia satu persatu. D i d a l a m Soviet-Rusia Merdeka
Stalin m e m e r d e k a k a n hati bangsa Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara!
Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat
badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit hongerudeem,
banyak ini banyak itu. „Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka".
Saya
berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum
merdeka.
D i
d a l a m Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun
misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita
untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. D i d a l
a m Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d
a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud
saya dengan perkataan „jembatan". Di seberang jembatan, j e m b a t a n e
m a s, inilah, baru kita l e l u a s a menyusun masyarakat Indonesia merdeka
yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan
sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita
mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa
sebenarnya internationalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan
kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak
diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar
bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht.
Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya,
kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang
sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli
rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal
menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu
ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah
kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka atau
tidak?
(Jawab
hadlirin: Mau!)
Saudara-saudara!
Sesudah saya bicarakan tentang hal „merdeka", maka sekarang saya bicarakan
tentang hal d a s a r.
Paduka
tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki!
Paduka tuan Ketua minta d a s a r , minta p h i l o s o p h i s c h e g r o n d
s l a g, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka
tuan Ketua yang mulia meminta suatu „Weltanschauung(landasan hukum)",
diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita
melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak
diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu
„Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas
„national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin
mendirikan negara Soviet diatas satu „Weltanschauung", yaitu Marxistische,
Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai
Nippon di atas satu „Weltanschauung", yaitu yang dinamakan „Tennoo Koodoo
Seishin". Diatas „Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara dai Nippon
didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu
„Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian
itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah
„Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang
merdeka?
Tuan-tuan
sekalian, „Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam
hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang.
Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan
bermacam-macam „Weltanschauung", bekerja mati-matian untuk
me"realiteitkan" „Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena
itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila
beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi
seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut
perkataan John Reed: „Soviet-Rusia didirikan didalam 10 hari oleh Lenin
c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya: „Ten days that shook the
world", „sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun Lenin
mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi „Weltanschauung"nya, dan
di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara
baru itu diatas „Weltanschauung" yang sudah ada. Dari 1895
„Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,
Weltanschauung itu „dicobakan", di „generale-repetitie-kan".
Lenin
di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau
sendiri „generale- repetitie" dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama
sebelum 1917, „Weltanschaung" itu disedia-sediakan, bahkan
diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh
John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu di atas „Weltanschauung" yang telah
berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di
dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara
Jermania di atas National- sozialistische Weltanschauung.
Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya „Weltanschauung" itu? Bukan di
dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja,
kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, „Weltanschauung"
ini, dapat menjelma dengan dia punya „Munschener Putsch", tetapi gagal. Di
dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan
negara diletakkan oleh beliau di atas dasar „Weltanschauung" yang telah
dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka
demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka
tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah „Weltanschauung" kita, untuk
mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasional-sosialisme?
Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor
Sun Yat Sen?
Di
dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
„Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku „The three people"s
principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, - nasionalisme,
demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung
itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru diatas
„Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.
Kita
hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas „Weltanschauung" apa?
Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau „Weltanschauung’
apakah?
Saudara-saudara
sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, - macam- macam - , tetapi alangkah benarnya perkataan dr Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari
persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari p e r s a t u a n p h i l o s o p
h i s c h e g r o n d s l a g , mencari satu „Weltanschauung" yang k i t a
s e m u a setuju. Saya katakan lagi s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui,
yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang
sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua
mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita b e r -s a m a - s a m a setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan
Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan
negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya
hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu
golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah
maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan.
Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua". Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang
kaya, - tetapi „semua buat semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang
nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya
jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi
Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar
pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar k e b a n g s a a
n.
K i
t a m e n d i r i k a n s a t u
n e g a r a k e b a n g s a a
n I n d o n e s i a.
Saya
minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain:
maafkanlah
saya memakai perkataan „kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya
minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau
saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a
n. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya
menghendaki satu n a s i o n a l e s t a a t, seperti yang saya katakan
dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat
Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak
tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk
tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia,
dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita
dasarkan negara Indonesia.
S
a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar
di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan
lebih jelas dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa?
Apakah syaratnya bangsa?
Menurut
Renan syarat bangsa ialah „kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya
merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest
Renan menyebut syarat bangsa: „le desir d’etre ensemble", yaitu kehendak
akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu
satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau
kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya
„Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: „Was ist eine Nation?"
dan jawabnya ialah: „Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft".
Inilah
menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang
timbul karena persatuan nasib).
Tetapi
kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: „verouderd", „sudah
tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah
„verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala
Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap
baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin,
kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan
tentang „Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan
tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang
dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang
ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya.
Mereka hanya memikirkan „Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, „l’ame et
desir". Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak
mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu
yaitu t a n a h a i r. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat
peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan dimana „kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun,
jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia
merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan
gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan
Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang
anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa,Sumatera, Borneo, Selebes,
Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil
diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian
pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon
yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai „golfbreker" atau
pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak
kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan,
dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil
pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan
oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan
Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani
yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka
manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon
saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah SWT
menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air
kita!
Maka
jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan
buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto
Bauer itu. Tidak cukup „le desir d’etre ensembles", tidak cukup definisi
Otto Bauer „aus schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft"
itu. Maaf saudara- saudara, saya mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa
di Indonesia, yang paling ada „desir d’entre ensemble", adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat
ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan,
melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun
adalah merasa „le desir d’etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu
bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat
merasakan „le desir d’etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu bahagian
kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek
kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan „le desir d’etre ensemble" diatas daerah kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah s e l u r u h manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang
telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia
dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! S e l u r u h n y a !, karena antara
manusia 70.000.000 ini sudah ada „le desir d’etre
enemble",
sudah terjadi „Charaktergemeinschaft"! Natie Indonesia, bangsa Indonesia,
ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah
menjadi s a t u, s a t u, sekali lagi s a t u !
(Tepuk
tangan hebat).
Kesinilah
kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu
golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang
dinamakan „golongan kebangsaan". Kesinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara,
jangan orang mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale
staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat,
tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil,
bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh
semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah
nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi
seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian
pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu,
adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di
jaman Sri Wijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami
nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja
dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung
Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat.
Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan
Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan
satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di
Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis
yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale
staat hanya Indonesia s e l u r u h n y a, yang telah berdiri dijaman Sri
Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena
itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara
yang pertama: K e b a n g s a a n I n d o n
e s i a . Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa,
bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-
lain,tetapi k e b a n g s a a n I n d o
n e s i a, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim
Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya
sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: „Saya tidak mau akan
kebangsaan".
(T
U A N L I M K O E N
H I A N : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi. )
(T
U A N S O E K A R N O:) Kalau begitu,
maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui
dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak
mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu
banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak
ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada
bangsa Arab, tetapi semuanya „menschheid", „peri kemanusiaan". Tetapi
Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a
kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di
bangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang
bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan
berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan
mempunyai rasa kebangsan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada
tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr
SunYat Sen! Di dalam tulisannya „San Min Chu I" atau „The Three People’s
Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang
diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah r a s a k e
b a n g s a a n, oleh pengaruh „The Three People"s Principles" itu.
Maka
oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen
sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang
dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun
Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur.
(Anggauta-anggauta
Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara.
Tetapi
........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada b a h a y a n y a
! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme,
sehingga berfaham „Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta
tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu.
Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia!
Ingatlah akan hal ini!
Gandhi
berkata: „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah
perikemanusiaan „My nationalism is humanity".
Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai
dikobar- kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan „Deutschland uber
Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo,
berambut jagung dan bermata biru, „bangsa Aria", yang dianggapnya
tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita
berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa
Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita
harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru
inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua,
yang saya usulkan kepada Tuan- tuan, yang boleh saya namakan „i
n t e r n a s i o n a l i m e". Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
k o s m o p o l i t i s m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang
mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada
Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme
tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya
internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2,
yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan
erat satu sama lain.
Kemudian,
apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun
golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara „semua buat semua", „satu
buat semua, semua buat satu". S a y a
y a k i n s y a r a t y a n g
m u t l a k u n t u k k u a t n y a
n e g a r a I n d o n e s i a i a l a h
p e r m u s y a w a r a t a n p e r w a k i l a n .
Untuk
pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun,
adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum
sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat
saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan, hati Islam.
Dan
hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam
Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa
yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam.
Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa
perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebat- hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi
badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau
memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau
memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat,
marilah kita pemimpin- pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya
mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini.
Ibaratnya
badan perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja
sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan
rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin,
jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa
agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%,
90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama- ulama Islam. Maka
saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h
Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibirsaja. Kita berkata, 90%
dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi
saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di
dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara
sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip
nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti
ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul
hidup, jikalau di dalam badan- perwakilannya tidak seakan-akan bergolak
mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik
di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada.
Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam
perwakilan rakyat saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah
sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di
dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk
badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak
ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di
dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara
Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi pikiran
kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu
bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya
beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah
saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
Priinsip
No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan
prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak
akan ada kemiskinan didalam Indonesia Merdeka. Saya katakan
tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism,
democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia
Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera,
yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa
dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana
yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan
Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan
ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis
merajalela?
Di
Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal
ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena
badan- badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut
resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie
disana itu hanyalah politieke democratie
saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada keadilansosial, tidak ada ekonomische
democratie sama sekali.
Saudara-saudara,
saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. „Di dalam Parlementaire Democratie, kata
Jean Jaures, di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak
sama. Hak politiek yang sama, tiap orang boleh memilih, tiap- tiap orang boleh
masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean
Jaures berkata lagi: „Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di dalam
Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia
punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister,
besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat
makan suatu apa".
Adakah
keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara,
saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat
Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu
Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid.
Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang
pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah
pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul
mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal
sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek,
saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan
persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara,
badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan
politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat
mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale
rechtvaardigheid.
Kita
akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan.
Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam
urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa
sebab? Oleh karena monarchie „vooronderstelt erfelijkheid", - turun-
temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya
meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun
dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik
kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita
mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus
Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal
dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan automatis
menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat
kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara,
apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1.
Kebangsaan Indonesia.
2.
Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3.
Mufakat, - atau demukrasi.
4.
Kesejahteraan sosial.
Prinsip
yang kelima hendaknya:
Menyusun
Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip
K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi
Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab- kitab yang
ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber- Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan
tiada „egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah
kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang
berkeadaban itu? Ialah hormat - menghormati satu sama lain
(Tepuk
tangan sebagian hadlirin).
Nabi
Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid,
tentang menghormati agama- agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan
verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini,
sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita,
ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat- menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa!
Disinilah,
dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang
ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan
Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah,
prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita
mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara!
„Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban,
sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka
pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca
Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang
yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun
lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya
bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa namanya ialah PancaSila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuktangan
riuh).
Atau,
barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu?
Saya
boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah
„perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia,
ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang
pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan,
saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio - nationalisme.
Dan
demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek-economische demokratie,
yaitu politieke demokrasi d e n g a n
sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula
menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan
socio
-democratie.
Tinggal
lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi
yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie,
dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta
satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi
satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai
tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua
harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat
indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat
Indonesia, - semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen,
yaitu perkataan „ gotong - royong „.
Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong !
(Tepuk
tangan riuh rendah).
„Gotong
Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari „kekeluargaan",
saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi
gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang
dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.
Marilah
kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama- sama!
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama,
perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua
buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuktangan
riuh rendah).
Prinsip
Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang
Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia.
Inilah,
saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila
menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan,
mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? I s i n y a
telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti
yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia
Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan
prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan,
saudara- saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara
Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur
alhamdulillah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahwa kita mendirikan negara
Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam
peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia
yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan
negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap
syukur kepada Allah SWT.
Berhubung
dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi
dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya,
haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi,saudara-saudara, itulah harus
Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya
berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu.
Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan;
untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan.
Panca
Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh tahun.
Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah saudara-saudara. Tetapi
saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu Weltaschauung dapat
menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu
Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi r e a l i t e i t, jika tidak
dengan p e r j o an g a n !
Janganpun
Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler,
oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
„D
e Mensch", -- manusia! --, harus p e r j o a n g k a n itu. Zonder
perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi
realiteit zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat
menjadi kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak!
Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia, tidak ada
satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit.
Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab
Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi
realiteit zonder perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula
perkataan-perkataan yang tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk
di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka
dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan
itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu
bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang
merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar
permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin
hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna,
--janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan,
perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya
negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya
berkata: D I d a l a m Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e
r u s, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti
kita, bersama- sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama
di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu
saudara- saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa
Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di
dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu
dan tidak menekad - mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan
Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai
keakhir jaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad „Merdeka, -- merdeka atau mati"!
(Tepuk
tangan riuh)
Saudara-sauadara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta
maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang
sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik
terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap „verschrikkelijk
zwaarwichtig" itu. Terima kasih!
(Tepuk
tangan riuh rendah dari segenap hadlirin).
Disalin
dari buku LAHIRNYA PANTJASILA, Penerbit Guntur,1949, Jogjakarta, Cetakan kedua