unika

unika
fisipol

Senin, 07 Mei 2012

Materi Kaderisasi GmnI


RANGKUMAN MATERI KADERISASI TINGKAT DASAR (KTD) GMNI  di MAMUJU

*SEJARAH GMNI
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) lahir dari hasil proses peleburan tiga organisasi kemahasiswaan yang berasaskan sama yakni Marhaenisme ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi tersebut adalah:
o Gerakan Mahasiswa Marhaenis yang berpusat di Jogjakarta
o Gerakan Mahasiswa Merdeka yang berppusat di Surabaya
o Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) yang berpusat di Jakarta
        Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.
Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif.
        Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:
- Ketiga organisasi setuju untuk melakukan fusi
- Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi ini bernama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesa (GMNI)
- Asas Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesa (GMNI) adalah Marhaenisme ajaran Bung Karno
- Sepakat untuk mengadakan Kongres pertama GMNI di Surabaya
        Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain: Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka (1. Slamet Djajawidjaja, 2. Slamet Rahardjo, 3. Heruman), Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis (1. Wahyu Widodo, 2. Subagio Masrukin, 3. Sri Sumantri Marto Suwignyo), Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (1. S.M. Hadiprabowo, 2. Djawadi Hadipradoko, 3. Sulomo)
KONGRES I
Dengan dukungan dari Bung Karno pada tanggal 23 Maret 1954 dilangsungkan Kongres I GMNI di Surabaya. Momentum inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi (Dies Natalis) GMNI. Hasil daripada Kongres I adalah :
"  Pengesahan nama GMNI sebagai hasil fusi ketiga organisasi
"  Penetapan pimpinan nasional GMNI dengan M. Hadiprabowo sebagai ketua
Dan kemudian kongres ini dijadikan awal untuk mengadakan kongres-kongres berikutnya secara bertahap. Perlu digaris bawahi disini GMNI itu sendiri terlepas dari kepentingan parpol tertentu karena sekarang GMNI sudah independent. Memag ketika tahun 1930-an GMNI itu sendiri sudah ada yakni dalam bentuk afiliasi degan partaiyaitu PNI. Namun, kemudian telah memutuskan keluar dari afiliasi tersebut dan menjadi organisasi yang berbasis masa serta independent.
STUKTUR ORGANISASI GMNI
GMNI adalah organisasi yang bersifat nasional, artinya lingkup wilayah organisasinya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan keanggotaannya mencakup seluruh mahasiswa yang berkebangsaan Indonesia.
Secara Struktural GMNI tersusun sebagai berikut:
A. LEMBAGA PIMPINAN
1. Pada tingkat pusat / nasional dipimpin oleh lembaga PRESIDIUM GMNI
2. Pada tingkat kota dipimpin oleh lembaga DEWAN PIMPINAN CABANG
3. Pada tingkat Perguruan Tinggi/Akademi/Fakultas dipimpin oleh lembaga / pengurus KOMISARIAT
B. LEMBAGA KOORDINATOR
1. Pada tingkat daerah (provinsi) Presidium dapat membentuk KOORDINATOR DAERAH sebagai pembantu Presidium.
2. Pada tingkat Perguruan Tinggi/ Akademi yang memiliki beberapa Komisariat, Dewan Pimpinan Cabang dapat membentuk KOORDINATOR KOMISARIAT sebagai pembantu DPC
C. LEMBAGA LAINNYA
Untuk mengkoordinir kegiatan tertentu, tiap lembaga pimpinan dapat membentuk lembaga otonom, misalnya, Pecinta Alam, Pusat Pengkajian, dan lain sebagainya. Pembentukan ini sesuai dengan kebutuhan.
D. LEMBAGA PERMUSYAWARATAN ANGGOTA
Kedaulatan organisasi berada ditangan anggot, dan disalurkan melalui lembaga permusyawaratan anggota. Lembaga Permusyawaratan Anggota juga mengangkat pimpinan organisasi dan menetapkan Garis Kebijakan Organisasi. Lembaga Permusyawaratan Anggota adalah:
1. Di Tingkat NASIONAL disebut KONGRES GMNI
2. Di Tingkat KOTA disebut KONFERENSI CABANG GMNI
3. Di Tingkat KOMISARIAT disebut MUSYAWARAH ANGGOTA
E. APARAT TEKNIS ORGANISASI
untuk membantu pimpinan dapat dibentuk aparat teknis yang bertugas membantu pimpinan GMNI. Aparat Teknis di tingkat pusat disebut SEKRETARIS JENDERAL dibantu beberapa staf Sekretaris Jenderal. Aparat teknis di tingkat Cabang disebut BIRO, pada tingkat Komisariat disebut STAF KOMISARIS
*MARHAENISME
Sejarah marhaenisme BUNG KARNO
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti - sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja - kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.
Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul "Dibawah Bendera Revolusi", Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.

MARHAENISME IS PANCASILA
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno dalam pidatonya yang khusus menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI mengenai apa itu filosofie groundslag atau dasar negara dari Indonesia yang akan dimerdekakan itu, menawarkan lima prinsip groundlag terdiri dari:

a. Nasionalisme;
b. Internasionalisme/humanisme
c. Demokrasi;
d. Keadilan;
e. Dan ke-Tuhanan...

Kelima prinsip yang ditawarkan oleh Bung Karno itu disebut jua PANCASILA.
Bung Karno juga menawarkan alternatif berikut, bahwa kelima rumusan itu juga masih bisa disederhanakan lagi, menjadi cukup tiga prinsip saja, yaitu:

a. Sosio-nasionalisme (gabungan pemadatan nasionalisme dangan internasionalisme);
b. Sosio-demokrasi (gabungan demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi), dan
c. Berketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga prinsip itu oleh Bung Karno disebut juga sebagai TRISILA yang notabene sesungguhnya itu merupakan formulasi terbaru dari MARHAENISME sebagai hasil perenungan Bung Karno dan kemudian menjadi asas perjuangan organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Bahkan semua perenungan itu (baik yang versi 5 prinsip maupun 3 prinsip) oleh Bung Karno juga masih bisa diringkas lebih padat lagi menjadi satu prinsip UTUH kebersamaan, yaitu: GOTONG ROYONG atau disebut EKASILA.
Tawaran Bung Karno itu ternyata diterima aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI, baik itu kalangan yang mewakili golongan Islam maupun yang mewakili golongan nasionalis.
*PSIKOLOGI SOSIAL
Psikologi sosial merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru dan merupakan cabang dari ilmu pengetahuan psikologi pada umumnya. Ilmu tersebut menguraikan tentang kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial. Dari berbagai pendapat tokoh-tokoh tentang pengertian psikologi sosial dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial.
Sedangkan latar belakang timbulnya psikologi sosial, banyak beberapa tokoh berpendapat, semisal, Gabriel Tarde mengatakan, pokok-pokok teori psikologi sosial berpangkal pada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi sosial antar manusia. Bedah lagi dengan Gustave Le Bon, bahwa pada manusia terdapat dua macam jiwa yaitu jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlaianan sifatnya.
Jiwa massa lebih bersifat primitif (buas, irasional, dan penuh sentimen) dari pada sifat-sifat jiwa individu. Berlaianan dengan Le Bon, Sigmund Freud berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah terdapat dan tercakup oleh jiwa individu, hanya saja sering tidak disadari oleh manusia itu sendiri karena memang dalam keadaan terpendam. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berpendapat dalam buku yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan psikologi sosial.
Pada tahun 1950 dan 1960 psikologi sosial tumbuh secara aktif dan program gelar dalam psikologi dimulai disebagaian besar universitas Dasar mempelajari psikologi sosial berdasarkan potensi -potensi manusia, dimana potensi ini mengalami proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan masyarakat. Potensi-potensi tersebut antara lain:

1. kemampuan menggunakan bahasa
2. adanya sikap etik
3. hidup dalam 3 dimensi (dulu, sekarang, akan datang )

Ketiga pokok di atas biasa disebut sebagai syarat human minimum. Dengan demikian yang tidak memenuhi human minimum dengan sendirinya sukar digolongkan sebagai masyarakat. Obyek manusia mempelajari psikologi sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial / gejala-gejala sosial. Sedangkan metode sosial antara lain :
a. Metode Eksperimen,
b. Metode survey,
c. Metode Observasi,
d. Metode diagnostik - psychis,
e. Metode Sosiometri.
Sebagai ilmu yang obyeknya manusia, maka terdapat saling hubungan antara psikologi sosial dengan ilmu-ilmu lain yang obyeknya juga manusia seperti misalnya : Ilmu hukum, Ekonomi, sejarah, dan yang paling erat hubungannya adalah sosiologi. Letak psikologi sosial dalam sistematik psikologi termasuk dalam psikologi yang bersifat empirik dan tergolong psikologi khusus yaitu psikologi yang menyelidiki dan yang mempelajari segi-segi kekhususan dari hal-hal yang bersifat umum dipelajari dalam lapangan psikologi khusus. Sedangkan kedudukan psiklogi sosial didalam lapangan psikologi termasuk dalam psikologi teoritis, sedangkan psikologi sosial tergolong dalam psikologi teoritis.
Mengenai psikologi sosial terdapat pertentangan faham diantara beberapa tokoh ilmu jiwa sosial yang dalam garis besarnya dapat dikelompokan menjadi dua aliran yakni, aliran subyektifisme yang menyatakan bahwa individulah yang membentuk masyrakat dalam segala tingkah lakunya. Dan aliran kedua adalah, obyektivisme yang merupkan kebalikan dari aliran subyektivisme, bahwa masyarakatlah yang menentukan individu.
Selain dua aliran di atas, masih ada aliran yang membicarakan masalah hubungan antara individu dengan masyarakat diantaranya adalah aliran historis dan cultural personality.
Apakah perbedaan sosiologi dengan psikologi?
Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya. Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental, perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu. Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu tersebut bertemu di daerah yang dinamakanpsikologi sosial . Dengan demikian para psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal - persepsi, kognisi, emosi, dan sejenisnya - sedangkan para sosiolog akan lebih menekankan pada bagaimana budaya dan struktur sosial mempengaruhi perilaku dan interaksi para individu dalam konteks sosial, dan lalu bagaimana pola perilaku dan interaksi tadi mengubah budaya dan struktur sosial. Jadi psikologi akan cenderung memusatkan pada atribut dinamis dari seseorang; sedangkan sosiologi akan mengkonsentrasikan pada atribut dan dinamika seseorang, perilaku, interaksi, struktur sosial, dan budaya, sebagai faktor-faktor yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi sosial adalah : " Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku kita?'". Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya"
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan  (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture".  Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan"nurture explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai  perspektif dalam psikologi sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).

*ANALISIS SOSIAL
Holland-Henriot, mendefinisikan analisis social sebagai ナ.."usaha memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang sebuah situasi social dengan menggali hubungan-hubungan histories dan strukturalnya" ( Social analysis : 30)

1. Analisis social menggali realitas, sebagai fenomena dalam keberagaman dimensinya, seperti;
o Masalah-masalah khusus, seperti pengangguran, kelaparan, inflasi dll
o Kebijakan-kebijakan (policies) seperti pelatihan kerja, pengawasan moneter, program bantuan pangan, pelayanan publik, dsb.
o Menyelidiki struktur-struktur yang lebih luas, lebih dalam, atau lebih spesifik dari isntitusi-institusi (pranata) ekonomi, politik, social budaya.
o Memfokuskan diri pada system-sistem yang berada dibalik dimensi-dimensi kebijakan dan struktur, seperti system politik sebagai subsistem dari system social tertentu; atau tananan politik (political order) sebagai sebuah system dengan landasan kulturalnya.
2. Menganalisis social dalam artian waktu (analisis histories) berupa studi tentang perubahan-perubahan system social dalam kurun waktu tertentu
3. Menganalisis system social dalam artian ruan (analisis structural), yang menyajikan aspek tertentu, dari keseluruhan kerangka kerja sebuah system pada suatu momen waktu.
(hal yang disebut dalam no.2 dan 3, biasanya digunakan secara bersama untuk suatu analisis yang menyeluruh)
4. Analisis yang membedakan (1) dimensi obyektif, dan (2) dimensi subyektif dari realitas social. Pertama menyangkut aneka ragam organisasi, pola-pola perilaku, dan pranata-pranata (institusi), yang kedua meliputi kesadaran, nilai, ideology. Melakukan analisis social, dalam hal ini adalah menganalisis unsure-unsurnya, supaya bisa memahami gerak perubahan dari asumsi-asumsi yang mendasarinya pada situasi social tertentu. Pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam analisis social, berusaha membuka tabir hal-hal; nilai, pandangan, keputusan dari para pelaku (aktor social) pada suatu situasi tertentu.
Disini kita membaur dengan masyarakat setempat untuk memahami mereka,permasalahan yang dihadapi,harapan,dan serta bagaimana cara mengatasi permasalahan yang kita dapat dari analisis yang kita lakukan.
Sebagai contoh kita dibagi pertim untuk menganalisis persoalan yang ada dengan dikrucutkan persoalan untuk masing masing tim. Kebetulan tim saya mendapat bagian untuk menganalisis persoalan dibidang pertanian. Kita mendapati beberapa masalah yakni terdapat ketidakmerataan dibidang pertanian,tentang distribusi subsidi pupuk antara desa satu dengan desa lain berbeda,,yang satu dapat dan yang satunya tidak merasakan. Kemudian modernisasi alat alat pertanian belum bias terealisasikan nasih mengunakan alat tradisional dan masih banyak lagi.
Kemudian dari hasil ini apa kaitanya kita sebagai kader GMNI mengenai persoalan ini? Ini merupakan bahwa perjuangan kita untuk memperjuangkan kaum marhaen adalah tepat dengan kondisi sekarang. Kita tidak sia-sia untuk memperjuangkan mereka dan ini menjadi keyakinan kita bahwa kita masih terjajah,kita masih belum merdeka serta masih banyak lagi pekerjaan-perkerjaan rumah yang masih kita perlu perjuangkan.
*STRATEGI PERJUANGAN GMNI
Pada masa lalu, para penulis tentang petani sangat menekankan sifat mereka yang "lokal," parokial," atau memiliki kepentingan "sektoral" yang kuat, sebagai lawan dari yang berwatak nasional, universalistik dan memiliki kepentingan kelas. Versi terakhir dari persepsi ini ditemukan dalam banyak penulis, pemimpin-pemimpin organisasi non pemerintah (NGO dan wartawan) yang memfokuskan perhatiannya pada "kepentingan mikro," partisipasi lokal dan proyek-proyek komunitas petani dan "identitas politik" mereka. Berlawanan dengan aliran pemikiran lainnya yang menekankan pada potensi revolusioner petani, sebuah persepsi umum yang banyak ditemukan saat-saat ini.

Namun hingga sejauh itu, tidak ada "pemikiran" yang sanggup menangkap kompleksitas, perubahan, dan dialektika perjuangan yang melibatkan gerakan tani. Padahal, hampir seluruh gerakan tani besar di Amerika Latin, terlibat dalam perjuangan dan kampanye yang bersifat lokal, nasional bahkan internasional. Pertama, dalam banyak kasus, perjuangan lokal yang disebabkan oleh kekerasan terhadap hak asasi manusia menjadi dasar bagi mobilisasi nasional dan kampanye solidaritas internasional. Kedua, sebagian besar gerakan membangun basis "lokal" bagi hegemoni politiknya sebagai batu loncatan (pringboard) menuju kekuasaan nasional dan menantang kekuasaan negara. Sebagai contoh adalah kasus CONAINE (National Confederation of Indigenous Nationalities) di Ekuador dan Cocaleros (Petani koka) di Bolivia. Ketiga, ketika kelompok-kelompok Etnis, atau Indian/African American mempertahankan hak-hak asasi dan pusat otonominya, banyak gerakan tani memiliki hubungan yang kuat dengan kepentingan kelas dan aliansi horisontal dengan kelas-kelas terhisap lainnya.

Baik konsepsi mikro dan makro perjuangan petani berwatak mekanis, satu sisi, dan memiliki persepsi yang tercerai-berai dengan aktivitas dialektik gerakan tani yang mengombinasikan perjuangan lokal dan nasional, tuntutan sosial dan politik, kelas dan kesadaran etnis. Yang satu tidak bisa menjabarkan pola aktivitas petani dari waktu dan tempat yang khusus. Sebagai contoh, dalam beberapa penindasan politik atau kekecewaan politik, gerakan tani mungkin mengganti agenda-agenda tuntutan mereka menjadi bersifat lokal, khusus dan aktivitasnya lebih pada pembelaan diri. Sebaliknya, pada masa-masa perluasan keanggotaan dan kemenangan perjuangan, gerakan tani cenderung menaikkan isu-isu berskala nasional dan menantang otoritas kekuasaan politik pusat. Sebagian besar gerakan tani secara langsung terlibat dalam satu atau lain bentuk tindakan politik.

Dengan satu pengecualian khusus, seluruh pemimpin-pemimpin utama petani berpikir dan bertindak untuk mengakumulasi kekuasaan politik dan berharap untuk mengubah, membagi atau mengambilalih kekuasaan negara. Gerakan tani mengubah perilaku mereka ke arah tindakan langsung dan strategi elektoral. Dalam beberapa kasus, gerakan bisa mengubah strategi perjuangan, tergantung pada kondisi eksternal dan perubahan internal. Secara umum, gerakan tani kebanyakan sangat percaya pada strategi "tindakan langsung," menduduki lahan-lahan besar, menutup jalan raya, atau mengambilalih kantor kotamadya, dst. Aktivitas elektoral merupakan sebagian bentuk dari penciptaan organisasi politik baru, atau menjadi pendukung keberadaan gerakan "kiri" perkotaan atau mendukng partai "populis."

Sebuah analisis yang berhati-hati terhadap pengalaman gerakan tani selama 25 tahun terakhir dengan perbedaan strategi politik, telah mendorong saya pada kesimpulan, bahwa metode tindakan langsung jauh lebih efektif dan positif ketimbang strategi elektoral dalam mengamankan tujuan-tujuan petani dalam jangka pendek dan menengah, tanpa mengabaikan pernyataan identitas "formal" partai peserta pemilu. Sebagai contoh, di Ekuador, CONAINE melalui tindakan langsung sanggup menggulingkan dua presiden neoliberal yang korup, mengamankan reform-reform sosial yang positif, dan memperkuat dukungan massa mereka di kalangan masyarakat sipil. Ketika CONAINE berbalik ke arah politik elektoral, dipengaruhi oleh sikap kekeluargaan dalam partai dan mendukung Presiden Gutierrez, yang terjadi adalah seluruhnya negatif: turunnya belanja sosial, penindasan politik besar-besaran, perpecahan dan kekecewaan di kalangan gerakan. Contoh yang sama terjadi di Bolivia, Brazil dan tempat lainnya, dimana gerakan tani menyandarkan diri pada strategi tindakan langsung terbukti sanggup mengambilalih lahan-lahan luas melalui pendudukan dan blokade jalan (Brazil) dan menggulingkan presiden neoliberal yang korup (Bolivia).
Banyak kaum kiri menulis bahwa minimnya peran strategis petani dan dampak politik dari gerakan tani, disebabkan oleh sumbangan mereka yang kecil terhadap prosentase GNP. Begitu banyak laporan-laporan yang menulis soal "terpinggirnya" atau "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, meskipun fakta menunjukkan, sebagian besar pemain kunci dalam sektor agro-ekspor membutuhkan mata uang yang kuat untuk kepentingan impor dan pembayaran utang. Dan itu semua tak lepas dari sumbangsih kaum tani. Faktanya, gerakan tani dan produser tetap menyediakan sumber-sumber langsung bagi pertukaran internasional melalui koka dan komoditi ekspor lainnya, dan pentingnya suplai bagi konsumsi makanan lokal.

Lebih dari itu, bukti substansial menunjukkan, taktik tindakan langsung yang menyebabkan "terpinggir" dan "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, memberi dampak strategis pada realisasi keuntungan yang bisa diakumulasi oleh sebagian besar sektor kunci dari kelas berkuasa.

Teori Marxis berpendapat, sentralisasi proletariat industri dalam perjuangan revolusioner menjadi basis bagi posisi strategis mereka dalam sektor produksi dan dalam "organisasi sosial" dalam sistem pabrik. Petani, sebagaimana kita ketahui, "tersisih" dari pusat operasi kapital dan pemilikan pribadi. Sebagai individu, mereka bersifat atomistik. Sebagai subyek, perilaku petani bersifat "individualistik.

Data dari gerakan-gerakan kontemporer, menantang asumsi-asumsi ini. Di banyak negara, petani mendemonstrasikan kemampuannya yang luar biasa untuk bertindak secara kolektif dan bersolidaritas, ketimbang buruh perkotaan. Secara tetap, fokus dari aksi-aksi mereka semakin meluas ke tingkat nasional. Atau isu-isunya bukan semata tuntutan upah yang sempit sebagaimana yang dilakukan oleh serikat buruh industrial. Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan di kotamadya (municipal), long-march besar-besaran, pemogokan dan boikot oleh produser, serta barikade dan blokade jalan. Dalam banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan, dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik elektoral. "Kohesi" petani datang dari struktur komunitas habitat pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang luas, dan ancaman bencana yang ditiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya.

Persamaan yang signifikan, bentuk-bentuk khusus dari kerugian struktural akibat aksi petani sangat berdampak dalam model kapitalis neoliberal. Lebih khusus lagi, jika aksi-aksi itu bertujuan mencegah sirkulasi ekspor komoditi oleh pengusaha-pengusaha pertanian-tambang dan manufaktur dan pencapaian keuntungan. Dengan kata lain, petani mungkin tidak memainkan peran yang esensial dalam produksi kapital tetapi, mereka memainkan peran esensial dalam sirkulasi komoditi dan dalam proses pertukaran. Peran strategis petani dalam mengguncang sirkulasi sama pentingnya dengan buruh pabrik yang mematikan alat-alat kerjanya dan menghentikan produksi: mereka tidak saja merusak keuntungan kaum kapitalis tetapi, juga memimpin perjuangan ketika terjadi disakumulasi dan krisis. Intervensi politik pada lokasi-lokasi strategis dalam sirkuit reproduksi kapitalis, menyebabkan gerakan tani secara dinamis memainkan peran strategis dalam proses transformasi sosial.
PEMETAAN GERAKAN MAHASISWA DIKAMPUS
Di manakah posisi mahasiswa dalam susunan kelas dalam masyarakat modern ini? Di satu pihak, mahasiswa tidak bekerja. Ia sepenuhnya hidup dari keringat orang lain, dalam bentuk uang kiriman dari orang tua. Di pihak lain, ia juga tidak memegang hak atas alat-alat produksi di mana ia dapat melakukan pemerasan secara langsung terhadap keringat orang lain. Maka, "mahasiswa" bukanlah sebuah "kelas". Ia hanyalah sebuah "sektor", di mana tergabung anak-anak dari orang tua yang berasal dari berbagai kelas. Posisi kelas mahasiswa belum ditentukan karena mereka belum memasuki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya, yaitu dalam proses produksi.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, awalnya sekolah-sekolah hanya diperuntukan bagi anak-anak penjajah dan priyayi. Anak kaum Marhaen tidak mungkin bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai tanda perlawanan maka munculah sekolah-sekolah liar, seperti Sekolah Rakyat yang dibentuk oleh Tan Malaka di Semarang, Taman Siswa, dan lain sebagainya. Setelah Indonesia merdeka sebelum Orde Baru berkuasa, anak-anak kaum Marhaen merupakan kader bangsa berjuang untuk mewujudkan cita-cita Revolusi Indonesia. Setelah Orde Baru berkuasa, maka anak-anak kaum Marhaen telah masuk ke dalam lingkaran institusi borjuasi dalam membangun masyarakat kapitalisme.
Dengan demikian, kini, medan pertempuran di kalangan pelajar/mahasiswa kian ramai. Di satu pihak, masuknya anak-anak kaum Marhaen ke sekolah/universitas memberi peluang bagi kaum borjuasi untuk menanamkan ilusi-ilusi agar kesadaran kelas mereka tidak dapat berkembang. Salah satu ilusi yang paling ampuh adalah peluang semu untuk "naik kelas", yaitu memperoleh kesejahteraan sebagai pelayan kaum borjuasi. Dengan mimpi itu, anak-anak kaum Mahaen akan mau mengkhianati kepentingan kelasnya sendiri, kepentingan orang tuanya juga. Bahkan, mereka akan turut menyebarkan ilusi borjuasi itu, persepakatan dengan sistem penindasan, di tengah anggota kelas mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah diserap menjadi agen-agen institusi perlindungan kaum borjuasi, negara borjuasi, yang bertugas melakukan penindasan spiritual-ideologis kepada kaum Marhaen. Mereka menjadi unsur-unsur paling reaksioner dan kontra-revolusioner di dalam masyarakat.
Di pihak lain, kaum Marhaenis juga mendapatkan kesempatan untuk mendidik kader-kader kaum Marhaen dengan pendidikan tinggi, sekaligus merebut keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan kaum Marhaen, terutama kelas buruh. Pendidikan tinggi ini sangat berguna untuk perluasan pendidikan di kalangan kaum Marhaen sendiri, meningkatkan kemampuan kritis mereka, kemampuan analisa mereka terhadap dunia sekitarnya, dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan roda pemerintahan ketika kelak kaum Marhaen merebut kekuasaan dari tangan kaum kapitalis. Perebutan keberpihakan anak-anak kaum borjuasi kepada perjuangan rakyat Marhaen ini juga adalah sesuatu yang sangat strategis sifatnya. Kelak, jika mereka berada dalam posisi-posisi kunci di tengah kelas mereka sendiri, mereka akan dapat memecah persatuan kelas borjuasi berhadapan dengan gerakan Marhaen yang revolusioner. Sangat diharapkan bahwa mereka ini akan cenderung menyeberang ke pihak kaum Marhaen ketika situasi revolusioner muncul. Dan ketika kaum Marhaen merebut kekuasaan, mereka akan merupakan bantuan yang tak ternilai untuk konsolidasi kekuasaan, dalam perlucutan kekuatan reaksi kaum borjuasi dan untuk membantu melancarkan roda perekonomian - pendeknya, merupakan minyak pelumas bagi proses transisi dari kapitalisme ke sosialisme.
Investigasi Kampus/Universitas
Dalam pembangunan basis dan menyebarluaskan Marhaenisme di kampus/universitas diperlukan pemetaan gerakan mahasiswa yang merupakan bagian dari investigasi kampus/universitas. Kegunaan investigasi kampus adalah membantu GMNI untuk mengenal beragam persoalan, serta dapat menghitung apa yang menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan lawan. Hal ini dapat membantu GMNI dalam mengorganisasi mahasiswa dalam perjuangan politik, ekonomi dan ideologi. Perjuangan politik adalah mengalang kekuatan (machtsvorming) untuk merebut kekuasaan dalam struktural gerakan mahasiswa di kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, Pers Mahasiswa, UKM. Perjuangan ekonomi adalah penggunaan kekuatan (machtsanwending) yang berdampak langsung pada mahasiswa, contohnya, kenaikan uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan lain sebagainya dan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat Marhaen. Perjuangan ideologi adalah penyebarluasan ideologi di lingkungan basis kampus.
Strategi machtsvorming digunakan ketika GMNI mengorganisasikan dan menyusun kekuatan gerakan mahasiswa. Awalnya Bung karno menggunakan istilah machtsvorming untuk menggambarkan massa aksi kaum Marhaen yang radikal, yang mencabut sampai keakar-akarnya imperialisme dan kapitalisme. Radikalisme inilah yang harus menjadi nyawanya machtsvorming. Bagi Bung Karno, machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita dengan jalan aksi massa. Selain pembentukan kekuatan machtsvorming juga berarti penyusunan tenaa semangat, tenaga kemauan, tenaga roh, dan tenaga nyawa. Sekarang machtsvorming akan diadopsi sebagai straegi kita mengkonsolidasikan kekuaan mahasiswa.
Strategi machtsanwending dipakai ketika GMNI menggunakan kekuatan mahasiswa, baik sebagai kekuatan penekan ekstra parlementer, yang berdampak langsung pada mahasiswa, contohnya, kenaikan uang kuliah, fasilitas kuliah yang bobrok dan lain sebagainya dan yang berhubungan dengan kepentingan rakyat Marhaen. Namun kita juga harus memperhatikan kapan, di mana, dan bagaimana kekuatan ini digunakan.
Hasil investigasi kampus/universitas dan didalamnya terdapat pemetaan gerakan mahasiswa akan dijadikan dasar analisa untuk berikutnya menentukan strategi yang tepat. Didalam pemetaan akan dikenali hubungan-hubungan organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Apakah memiliki keterkaitan historis dan ideologis atau tidak berhubungan sama sekali.
Beberapa poin utama yang harus diperhatikan oleh kader GMNI dalam melakukan investigasi kampus, yakni:
1. Ciri Umum Mahasiswa
Informasi paling penting yang harus betul-betul dipahami oleh kader GMNI dalam membangun basis di kampus adalah asal-usul kelas dan latar belakang ekonomi para mahasiswa. Analisis demikian kurang lebih bakal memungkinkan kita, memeriksa secara umum kepentingan-kepentingan dan sikap-sikap sosial mereka. Misalnya, para mahasiswa yang berasal dari kelas atas pada umumnya lebih sulit untuk menyerap issu-issu sosial dibanding mereka yang berasal dari kalangan klas menengah dan klas bawah yang secara mudah bisa dan biasa merasakan kesulitan ekonomi. Ada beberapa tipe mahasiswa yang harus kita ketahui, yakni :
a. Mahasiswa Hedonis
Kelompok mahasiswa yang paling mayoritas dan terbesar di kampus/universitas. Hasil dari tindakan refresif dan deposit Orde Kapitalis dibawah rejim Soeharto adalah rakyat yang apolitis dan mengambang, begitu juga mahasiswa. Mereka ini biasanya hanya berangkat kulah dan pulang kembali (Mahasiswa PP) tanpa melakukan aktivitas apapun di kampus/universitas dan bersifat hedon dan pragmatis.
b. Mahasiswa Diskusi
Kelompok mahasiswa yang senang memperdalam teori dengan melakukan kajian-kajian dalam diskusi-diskusi. Mereka enggan melakukan aksi-aksi dan terjun ke masyarakat sebelum melakukan kajian matang mengenai aksi yang dilakukan. Mereka cenderung eksklusif dan selalu curiga menerima tawaran aliansi dari kelompok lain. Hasil dan ukuran keberhasilan aktivitas mereka adalah dengan rutinitas penerbitan buletin, penulisan paper, penerbitan buku, kegiatan seminar.
c. Mahasiswa Aktivis
Kelompok mahasiswa yang senang aksi dan mudah bereaksi dengan demonstrasi jika ada hal-hal yang mengusik keadilan, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan yang merugikan rakyat, dll. Keberhasilan keja-kerja mereka diukur dengan rutinitas aksi-aksi dan barometer keberhasilan pengorganisasian adalah jumlah massa yang ikut terlibat demonstrasi.
d. Mahasiswa Intra Kampus
Aktivis mahasiswa intra kampus adalah mereka yang menjadi pengurus lembaga internal kampus seperti Senat, BEM, Unit Kegiatan Kampus (UKM), Unit Aktifitas Kampus (UKA), dll, yang biasanya birokratis, tidak luwes dalam pergerakan, ketergantungan tinggi dengan sarana kampus, militansi sempit dengan nama kampus.
e. Mahasiswa Ekstra Kampus
Aktivis mahasiswa ekstra kampus adalah mereka yang tergabung dalam organisasi-organisasi ekstra mahasiswa, seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI (kelompok Cipayung), KAMMI, Gemsos, dll. Kelompok ini lebih tertata secara organisasional, kental identitas organisasinya, ada kecenderungan patron pada senior yang sudah sukses sebagai literatur rujukan gerakan. Ada juga dalam kelompok aktivis mahasiswa ekstra kampus berupa gerakan yang mengkritisi gerakan pemerintah dan para pelaku/aktor pembuatan keputusan, baik yang di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang menolak kooptasi kampus dan Negara. Mereka sangat luwes dalam gerak, mudah mencair dengan kelompok-kelompok lain untuk kepentingan taktis dan strategis, mampu membangun jaringan bawah tanah (underground) secara nasional. Walaupun sebenarnya mereka ini dibentuk juga oleh aktivis mahasiswa ekstra kampus kelompok Cipayung dan alumni Gerakan Mahasiswa 70 dan 80-an dan ada kecenderungan patron pada alumni kelompok Cipayung dan pada senior kelompok Cipayung dan alumni Gerakan Mahasiswa 70 dan 80-an yang sudah sukses sebagai literatur rujukan gerakan Tipe-tipe gerakan ini misalnya, Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia (FAM-UI), Front Aksi Mahasiswa untuk Demokrasi (Famred), Kesatuan Aksi Mahasiswa trisakti (KAMTRI), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Analisis berikutnya, yang harus diselidiki oleh kader GMNI adalah tingkat melek-politik para mahasiswa. Tingkat kesadaran politik dari mereka yang berada biasanya lebih rendah atau kurang, terlibat dalam persoalan-persoalan sosial yang tidak secara langsung mereka merasakannya dan tidak secara langsung menerima dampaknya. Di pihak lain, mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin pada umumnya lebih gampang menyerap persoalan-persoalan rakyat. Sekalipun demikian, hal ini tentu saja tidak berarti harus kaku, bahwa mahasiswa-mahasiswa kaya tidak akan pernah terlibat dalam aksi-aksi politik, atau sebaliknya, mahasiswa-mahasiswa miskin dapat juga bersikap apatis atau bahkan memusuhi aksi-aksi politik.
Selain menganalisis tingkat melek politik para mahasiswa, perlu juga diselidiki dan melakukan pemetaan terhadap mahasiswa yang lemah dan yang kuat, kompromis dan radikal. Kader GMNI akan melihat keduanya sebgai peluang dan tantangan sekaligus. Bagaimana memperkuat yang lemah dan menjaga stamina serta mengarahkan kelompok yang kuat sesuai ideologi GMNI.
2. Organisasi Mahasiswa
Kita juga harus sadar dan awas terhadap bermacam-macam organisasi yang sudah ada. Keanggotaannya, pengaruhnya, fungsinya dan orientasinya. Hal ini akan memberikan jalan bagi kita, bagaimana kita akan berhubungan dan bergaul dengan mereka. Hal ini penting karena hanya dengan mengetahui kekuatan organisasi tersebut kita akan dapat menentukan garis politik kita terhadap mereka. Pengetahuan terhadap organisasi mahasiswa yang sudah ada di kampus tersebut akan membantu kita juga dalam hal aliansi taktis dan strategis dalam menggalang isu di kampus dan perjuangan politik dalam merebut kekuasaan struktural organisasi kemahasiswaan.
Nilai lebih organisasi dalam organisasi mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.
Kader GMNI harus mampu melakukan pemetaan ideologis terhadap organisasi-organisasi mahasiswa. Harus dikenali mana organisasi yang sepaham dan yang berbeda secara ideologi, dan mana yang ideologinya tidak jelas. Kader GMNI juga harus mampu melakukan pemetaan kekuatan dari organisasi-organisasi tersebut. Mana yang solid dan kuat, mana yang berafiliasi ke partai politik, mana yang masih bisa ditumbuhkembangkan, dan mana yang basis massanya besar, dll.
Dibawah ini pemetaan ideologis oganisasi mahasiswa di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Nasionalis Sukarnois/Marhaenisme)
2. Himpunan Mahasiswa Indonesia (Islam Politik)
3. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Islam Politik/NU)
4. Perhimpunan Mahasiswa Katholik Indonesia (Katholik)
5. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (Kristen)
6. Liga Mahasiswa Nasional Demokrat (Demokrasi Kerakyatan)
7. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Islam Politik)
8. Gerakan Mahasiswa Sosialis (Sosialisme Kanan)
3. Pejabat-Pejabat Universitas dan Fakultas
Soal lain yang penting yang harus dipertimbangkan oleh kita adalah pejabat Universitas atau Fakultas. Kader GMNI harus bisa menilainya dalam kerangka mencapai tujuan, keinginan dan orientasi yang dicita-citakan oleh organisasi kita. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan di antara mereka (para pejabat tersebut), tokoh-tokoh kunci yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan universitas atau Fakultas. Status ekonominya harus didapatkan sehingga kita akan memperoleh ide dan penilaian mengenai pandangan maupun sikap politik mereka.
Persepsi dan analisis kita terhadap para pejabat akan kita masukan kedalam klasifikasi yang sudah kita buat sesuai dengan tujuan dan orientasi organisasi kita, yakni : (a) terbuka, (b) Represif atau menindas (c) Simpati, (d) Terang-terangan mendukung. Apabila mungkin kita perlu juga harus mengamati pengalaman-pengalaman organisasi lain yang berhadapan dengan para pejabat ini.
Dan seorang kader GMNI dituntut untuk menguasai beberapa hal yang wajib dimilikinya yaitu: leadership, ability to speak English, public speaking and ability to organize.

4. Mengenai Issu
Pemahaman yang tajam dan jelas terhadap persoalan-persoalan yang dewasa ini dihadapi oleh kalangan mahasiswa merupakan faktor kunci untuk keberhasilan mengorganisir. Dalam konteks kampus atau Universitas, persoalan-persoalan yang ada dapat digolongkan kedalam dua bentuk pokok, yaitu issu lokal dan issu nasional. Issu lokal adalah issu-issu yang berdampak langsung pada mahasiswa. Sedangkan issu nasional adalah issu-issu jangka panjang dan belum menjadi perhatian yang mendesak bagi para mahasiswa.
Walaupun demikian, tidak ada pemisahan yang tegas antara dua jenis issu tersebut. Tambahan lagi, tidaklah mutlak issu-issu lokal atau kampus memperoleh perhatian penuh dari kalangan mahasiswa. Tergantung pada kondisi, issu-issu nasional bisa dipilih sebagai persoalan yang dipropagandakan.
Hal yang amat pokok dan penting bagi kita adalah menemukan atau menunjukan issu-issu yang memang secara signifikan penting buat mahasiswa. Secara akurat tepat harus dirumuskan apa yang menjadi hari ini dan yang kemudian akan menjadi jalan dalam usaha mengorganisir. Dengan mengetahui dan menguasai jalan keluar persoalan tersebut (issu-issu tersebut), maka kader GMNI akan mudah memenangkan simpati dan dukungan dari mahasiswa-mahasiswa yang antusias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar